Rabu, 05 September 2012

renungan akhir tahun

Menghitung Perbedaan Waktu Dunia

Oleh : Budi Setiyarso

Dua OKB (orang kaya baru) asal Indonesia sedang menikmati malam tahun baru 2010 di Tokyo (Jepang). Merekapun hanyut dalam suasana kemeriahan pesta umat manusia di seluruh dunia tersebut. Bahkan saking senangnya, sampai lupa pada tugas yang diembannya. Tanggal 1 Januari 2010 pukul 16.00 mereka wajib menghadiri meeting di San Fransisco (USA). Mega proyek itu direncanakan akan mengucurkan dana hingga $ 50.000.000 atau setara Rp.500.000.000.000,- (lima ratus milyard bro…gak main-main kan ?)

Pesta itu pun berakhir, namun rasa lelah akibat jingkrak-jingkrak kedua aktor kita inipun membuahkan rasa lelah yang luar biasa. Akibatnya mereka tertidur dengan lelapnya sampai terdengar ….

“Kring …kring … kriiiiing”
Jam beker menunjukkan pukul 06.00, padahal mereka belum berkemas-kemas sama sekali. Tanpa basa-basi, merekapun ribet mengemasi barang bawaannya dan segera meninggalkan hotel bintang lima itu. “Taksi, antar kami ke bandara …”, perintah Munandar, salah satu OKB pada sopir taksi yang mau dia tumpangi. “English please”, jawab sopir itu. Setelah si sopir paham, merekapun segera melaju ke bandara.

Pukul 07.00 tepat waktu Tokyo, mereka meninggalkan Negara Matahari Terbit itu. Masih ada waktu 9 jam agar mereka bisa menghadiri meeting itu tepat waktu. Padahal kata orang, perjalanan ke San Fransisco membutuhkan waktu 6 jam jika ditempuh dengan pesawat ultra cepat itu.

Pesawat melaju ke arah timur melewati Samudra Pasifik, meninggalkan Benua Asia dan menuju Benua Amerika.

Rute Perjalanan

Di dalam perjalanan yang penuh kepanikan itu, yang dilakukan Usman dan Munandar adalah :

- Usman yang sangat cerdas dimensi spritualnya, berdoa dengan khusuknya agar mereka datang tepat waktu atau meeting itu molor atau bahkan ditunda. Karena ini adalah kesempatan emas yang gak boleh terlewatkan agar bendera kejayaannya semakin berkibar.
- Munandar tak henti-hentinya memprediksikan waktu tiba di San Fransisco. Dihitunglah waktu tiba di San Fransisco itu sesambi terus berdoa agar tak terlambat.

Mau tau apa yang dipikirkan Munandar ?

Berikut apa yang ada di otaknya :

Pesawat melaju ke arah timur sejauh ± 8.675 Km. Teringat ia akan pelajaran Geografi yang diajarkan Guru SMA-nya dulu, kalau semakin ke timur maka waktu semakin lebih awal. Perbandingannya ketika di Jakarta baru adzan magrib (WIB) maka di Papua (WIT) magrib sudah berlangsung dua jam yang lalu.


Berarti jika mereka berangkat pukul 07.00 waktu Tokyo, maka mereka akan sampai di San Fransisco kurang lebih pukul 13.00 waktu Tokyo (karena standar perjalanan itu 6 jam, maka 07.00 + 6 jam = 13.00).

Diambilnya selembar kertas dan bolpoint dari sakunya. Kemudian dia menghitung dengan kasar waktu tambahan akibat perbedaan waktu antara Tokyo dan San Fransisco dengan memperhatikan jaraknya. Hitungan kasar itu pun masih menyamakan dengan perhitungan beda garis bujur di khatulistiwa yaitu : 1 derajat = 111 Km. Yang berarti selisih bujur antara Tokyo – San Fransisco sama dengan 8.675 Km dibagi dengan 111 Km atau setara 78 derajat ( 8.675 / 111 = 78 derajat).

Jika tiap 15 derajat itu selisih waktunya 1 jam, maka waktu tambahan akibat perbedaan waktu antara  Tokyo – San Fransisco adalah 78 derajat dibagi 15 derajat atau 78 / 15 = 5,2 jam. Maka paling tidak mereka sampai di San Fransisco pukul 13.00 + 5 jam = 18.00.

Munandar menyadari hal itu lebih dulu dibandingkan Usman yang kini masih sibuk berdoa. Munandarpun bersedih, karena sebentar lagi proyek yang bernilai milyaran itu akan segera melayang dari dirinya. Si Bos dari San Fransisco sebelumnya sudah menjanjikan kalau ada yang terlambat dalam meeting itu, maka akan dianggap gugur. Munandarpun menutup matanya menenangkan hati dan tidur dalam kekecewaan yang luar biasa. Sementara Usman yang duduk di sebelah bangkunya masih nampak khusuk dengan doanya.

Pesawatpun mendarat di salah satu bandara terbesar di San Fransisco. Usman menangis keras-keras dan dengan kasar membangunkan Munandar. “Bangun Ndar, Bangun …. Kita terlambat…Hari sudah magrib…Rejeki kita melayang …Rejeki kita dipathok ayam…Hu hu hu hu …. Banguuuun !!!”, kata Usman diiringi tangisan. Munandarpun terbangun tanpa ekspresi kaget sama sekali. Karena ia sudah memperhitungkan itu sebelumnya. Adzan magrib mengiringi turunnya dua orang ceroboh ini dari pesawat. Karena ternyata masih ada suara indah adzan yang menghiasi langit di Amerika Serikat. Langkah kakipun menuntun mereka menuju tempat suci umat Islam tersebut.

Sehabis sholat, Munandar melihat sekelilingnya. Kenapa banyak anak yang masih memainkan terompet malam ini pikirnya. Suara “tat tet tat tet” memang terdengar berkolaborasi di langit San Fransisco bakda magrib itu.

“Ini tanggal berapa pak ?”, Tanya Munandar pada seorang bule di sampingnya (pakai bahasa inggris tentunya). “Ini tanggal 31 Desember 2009, malam ini malam tahun baru”, kata Bapak itu.

Serempak dua sekawan ini bersorak kegirangan “yeeeeeah !, horeeee !!, yuuuuhu !!!” ….. Kita tidak terlambat… Kita selamat … Subhanallah ….. Alhamdulillah….”


Usman segera bersujud syukur dilantai dua kali. Dan berkatalah dia “Ini mukjizat…Subhanallah…Ini mukjizat…Terima kasih ya Rabb

Disela kegembiraan itu Munandar nampak kebingungan, ada apa ini ? Bagaimana mungkin ini terjadi ? Apa ada yang salah dengan hitungannya? Bagaimana mungkin waktu sampai di San Fransisco lebih dulu daripada jam keberangkatannya. Sebagaimana kita tahu, mereka berangkat dari Tokyo pada Tanggal 1 Januari 2010 pukul 07.00 dan sampai di San Fransisco tanggal 31 Desember 2009 pukul 18.00. Sementara dia menyadari bahwa mereka berdua dan bahkan orang-orang satu pesawat itu bukanlah orang-orang super yang bisa melakukan mukjizat layaknya isra mi’raj. Pertanyaan itu terngiang-ngiang mengganggu kegembiraannya malam itu.

Setelah perenungan, akhirnya diapun menemukan jawaban atas pertanyaan itu yaitu sebagai berikut :

PERHITUNGAN SEBELUMNYA :

Munandar mempunyai asumsi bahwa semakin ke timur waktunya semakin lebih awal, dengan perbandingan setiap perbedaan 15 derajat diwakili perbedaan waktu 1 jam. Pernyataan ini memang benar karena ketetapan internasional tentang pembagian waktu dunia ideal memang seperti ini, namun hal ini akan salah ketika perjalanan itu melewati bujur balik GMT (Greenwitch Mean Time / Meridian Greenwitch 0) yaitu GMT + 180 derajat. Karena setelah melewati garis ini, waktu di sisi barat dan di sisi timur garis ini selisih perbedaan waktunya mencapai 1 hari. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini : (untuk mempermudahkan pengamatan alias gak rumit, maka pembagian waktunya per 30 derajat atau tiap perbedaan 2 jam)

Model Perhitungan Munandar

Perhitungan Munandar mengalami kesalahan karena perhitungannya melewati bujur balik GMT ini, namun dia masih menghitungannya dengan perhitungan normal. Pembagian waktu yang sebenarnya ketika 15 derajat melewati garis balik GMT, terjadi perbedaan tidak hanya 1 jam melainkan 23 jam lebih awal.

Secara menyeluruh dapat diamati dalam pembagian waktu dunia kasar seperti di bawah ini :


Pembagian Waktu Kasar (per 2 jam)

Dari hal ini dapat diamati perbedaan dua kota yaitu Nome di Amerika Serikat dan Kota Anadyr di Rusia yang lokasinya hanya berseberangan selat dan hanya berjarak 2000 Km atau 18 derajat yang kalau dihitung normal hanya selisih 1 jam namun kenyataannya selisih waktunya 23 jam.


Beda Waktu antara Anadyr - Nome

Sedangkan standar pembagian waktu dunia adalah sebagai berikut (ada beberapa tidak distandarkan dengan garis bujur melainkan batas administrasi / batas pulau untuk mempermudah koordinasi)


Pembagian Waktu Dunia
PERHITUNGAN YANG BENAR :


Berdasarkan gambar pembagian waktu dunia di atas dapat diamati sebagai berikut :
Ketika pesawat berangkat, Tokyo menunjukkan pukul 07.00 (1 Januari 2010). Pada saat yang sama San Fransisco menunjukan pukul 13.00 (31 Desember 2009). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini :


Perhitungan yang Benar

Jadi jika perjalanan pesawat menuju San Fransisco memerlukan waktu 6 jam maka waktu tiba di San Fransisco adalah 13.00 (31 Des 2009) + 6 jam atau pukul 19.00 (31 Des 2009). Perhitungan ini masih kasar (selisih per 2 jam) sehingga terjadi perbedaan sekitar 1 jam namun ini bukan masalah, karena intinya jawabannya adalah sama yaitu pada Tanggal 31 Desember 2009 sekitar jam 18.00 – 19.00 waktu San Fransisco.
Bagaimanapun juga Munandar dan Usman begitu bersyukur atas kondisi itu, selain tidak terlambat untuk mengikuti meeting besok sore, mereka juga dapat menikmati pesta tahun baru dua kali di tempat yang berbeda. SELAMAT TAHUN BARU SEMUA …!!!

Jumat, 31 Agustus 2012

Budidaya Lele


Cara Budidaya Lele

Oleh : Hari Raharjo
dscn4515
Jika kita ingin memulai ternak lele dgn tebar bibit 10.000 ekor ukuran 10-12 cm harga di pasaran Rp.250-300/ekor setidaknya diperlukan lahan 100 m2, jumlah pakan pelet 1 ton jika konversi pakan menjadi daging 90 % diestimasikan kita mendpt hasil 900 kg, masa pemeliharaan 60-80 hari.Sebaiknya pada saat 30-40 hari stlh tebar benih dilakukan sortir, krn mulai banyak bibit yg bertubuh bongsor yg sering meng-kanibal ikan yg lain.

Tebar lele, bisa diawali dgn tebar ukuran 2-3 cm dgn kapadatan 100-150 ekor/m2, pilih lokasi dgn suhu > 26 C. Jadikan warna air menjadi hijau daun utk suplai O2 lbh baik, dgn cara pemupukan & aplikasi probiotik. Umur 90 hari akan di dpt 140 gr ( 7ekor/Kg). dgn kepadatan itu kolam dari terpal atau beton.
Sebenarnya dgn teknologi probiotik tebar lele sudah mampu sampai 400 - 500 ekor/m3. tetapi diperlukan kepiawaian dlm manajemen pengelolaan kualitas air.
*
bentuk fisik kolam tdk terlalu utama, baik itu kolam tembok ataupun tanah. yang diutamakan dlm ternak lele adalah kualitas benih, air dan pakan.Benih sebaiknya beli dari pembenih lele langsung dan mulai dari benih yg agak besar contohnya ukuran 10-12 cm dgn kepadatan 100-150 ekor/m2, air bebas pencemaran bisa berasal dari air sungai, sumur, PAM yg sudah diendapkan. kolam sebaiknya diberi pupuk kandang,urea,tsp dan didiamkan minimal 1 minggu agar terbentuk pakan alami berupa plankton, kolam harus dlm kondisi air tdk jalan krn lele rentan terhadap perubahan air yg terus menerus dan lele akan selalu meloncat kearah sumber air mengalir. kedalaman kolam sebaiknya 120 cm dgn ketinggian air 80 cm.pakan utama sebaiknya menggunakan pakan pabrik dgn kandungan protein >32% dan dpt diberi pakan tambahan berupa limbah peternakan ayam spt bangkai ayam,usus,telur yg gagal tetas dng terlebih dahulu dibakar/direbus.
*
Petani lele di rangkasbitung (Banten), ukuran kolam 10×10M2 ditanami benih 10.000 ekor, diberi pakan 4 kali sehari dan 40 hari kemudian panen sekitar 1,2 ton. Kedalaman air sekitar 80 cm, kolam tidak dibeton tapi cukup tanah alami. 2 minggu setelah tabur benih, ikan dipisah-pisahkan yang ukuran besar dan yang kecil. Oya jenis lele silangan antara patin dan dumbo, saya lihat warna ikan agak putih tidak seperti lele biasa dan tidak matil, juga tidak meng-kanibal yang lainnya.
Harga benih sekitar Rp. 250/ekor, hasil diskusi dengan peternak nih, total biaya sekitar 7,5 juta (Bibit+Pakan), 40 hari tanam menghasilkan sekitar 10 Juta.
*
Tips membuat pakan tambahan untuk lele, peternak lele bisa mencobanya, dgn bahan :
1. Ampas tahu
2. Katul (dedek halus) dari padi
3. Ikan Asin BS(dihaluskan)lebih bagus di rebus
dgn perbandingan 10:5:1 jd setiap 10 kg ampas tahu,+5kg katul,+ 1kg ikan asin bs aduk jd satu, berikan sesuai kebutuhan.
*
Modal awal, kita coba buat 1 kolam ukuran kecil 2m x 3m, gali tanah sedalam 30an cm, tanah galian urug-kan ke sekitar pinggir calon kolam. Selanjutnya yang perlu kita lakukan adalah membeli terpal plastik yang banyak dijual di toko, seharga 50 ribuan,

ataupun yang lebih mahal juga bisa, tapi ini kualitasnya sudah cukup bagus. Pasang terpal plastik ke lubang kolam yang telah digali, kedalaman tanah 30 cm, tinggi permukaan tanah (dengan tanah urug sebelumnya) naik kan jadi 20-30 cm lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Jadilah kolam kita yang berbiaya murah. Isilah dengan air jernih, biarkan selama 2-3 malam (jangan langsung ditaburi benih). Beri tanam-tanaman air juga bagus, semisal teratai, ganggang air, kangkung, dsb.
*
Berikutnya, tinggal beli benih ikan lele, dengan ukuran sebesar ibu jari orang dewasa, harganya sekitar 100-150 rupiah per ekor. Coba isi kolam tadi dengan 300-400 ekor benih ikan lele. Beli pakan ikan (pelet) lembut, sekitar 5000 rupiah per kg. Sebulan mungkin menghabiskan sekitar 3 kg, Sebagian di atas kolam dibuat atap pelindung, juga bagus. Sebagian terkena cahaya langsung matahari. Kalau ada sisa nasi makan malam/siang, masukkan saja ke kolam, biar nambah-nambah zat makanan. Air kondisikan alami seperti di rawa/sungai, perbanyak tanaman air. Kalau di awal-awal menabur benih, sebagian ikan mati, jangan panik, ambil saja, buang. 3-4 hari berikutnya ikan akan bertahan hidup normal. Nah, tinggal menunggu sekitar 3 bulan, ikan sudah cukp besar untuk bisa dipanen, dijual dengan harga sekitar 1000 rupiah per ekor. Bikin saja tulisan di depan rumah “JUAL IKAN LELE KONSUMSI, SEGAR, GURIH” Kalau tanah cukup luas, berarti bisa bikin 2-3 kolam lagi yang serupa. Pakai terpal plastik juga (hemat biaya pasir dan semen, serta ongkos tukang.
http://hikmatullah.0fees.net/?p=28
 

Selasa, 28 Agustus 2012

Rakaat shalat tarawih



Oleh: Fatahillah Ibnu Hasan
Tiga Dalil
Pada halaman 66-70 Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. mengungkapkan 3 dalil yang menunjukkan bolehnya tarawih dengan jumlah rakaat yang tidak terbatas, meskipun beliau memberi judul yang lebih khusus yaitu “Tiga Dalil Tarawih 20 rakaat.”
Tiga dalil tersebut yang pertama adalah, adanya Hadis shahih yang tidak membatasi jumlah rakaat shalat tarawih, yaitu:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Yang kedua, Hadis mauquf yang meriwayatkan bahwa Ubay bin Ka’ab R.A. mengimami shalat tarawih 20 rakaat. Dan karena Hadis mauquf itu statusnya sama dengan Hadis marfu’ apabila tidak berkenaan dengan masalah ijtihadiyyah, maka Hadis Ubay bin Ka’ab R.A. ini teranggap marfu’ karena berkenaan dengan masalah ibadah yang tentu bukanlah masalah ijtihadiyyah.
Yang ketiga, Ijma’ shahabat.
Tanggapan kami:
Tentang dalil yang pertama, ada dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa nash yang menunjuk kepada suatu makna yang tidak bisa ditentukan apa maksudnya kecuali dengan suatu penentu disebut sebagai nash yang Mujmal.
Seperti firman Allah SWT:
أَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ
“Dirikanlah shalat”
Maka nash yang seperti ini dikatakan Mujmal karena menunjuk kepada suatu makna yaitu “Shalat,” namun tidak bisa ditentukan apa yang dimaksud dengan “Shalat” dalam ayat ini dan bagaimana caranya. Sementara kita tidak mungkin bisa memutuskan apa maksud dari “Shalat” dan bagaimana tata caranya jika hanya bersandar dengan satu ayat ini saja. Oleh karena itu harus dicarikan suatu Mubayyin atau nash-nash lain yang menjelaskan apa maksud dari “Shalat” yang disebutkan oleh ayat di atas yaitu Hadis-hadis yang menjelaskan Kaifiyyah atau tata cara shalat Rasulullah Saw sehingga bisa disimpulkan bahwa maksud dari “Shalat” adalah suatu ritual tertentu dengan cara-cara tertentu yang kita kenal sekarang.
Demikian pula Hadis:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang melaksanakan Qiyamu Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka akan diampunkan baginya apa yang telah lalu dari dosa-dosanya.”
Meskipun Hadis ini dengan jelas menunjukkan adanya ampunan bagi orang yang melaksanakan Qiyamu Ramadhan, namun Hadis ini mengandung nash yang Mujmal yaitu susunan “قَامَ رَمَضَانَ” yang menunjuk suatu makna yaitu “Qiyamu Ramadhan” namun tidak bisa ditentukan apa maksudnya kecuali dengan melihat nash-nash lain yang menjadi Mubayyin atau penjelasnya.
Dengan kata lain, jika seandainya Hadis ini adalah satu-satunya Hadis tentang Qiyamu Ramadhan, maka kita tidak bisa melakukan ibadah Qiyamu Ramadhan tersebut karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan Qiyamu Ramadhan kecuali setelah melihat kepada Hadis-hadis lain yang menjelaskan bagaimana tata cara Qiyamu Ramadhan Rasulullah Saw seperti halnya Hadis Aisyah R.A. yang disebutkan di awal tulisan ini.
Oleh karena Hadis di atas mengandung susunan yang Mujmal, maka tidak bisa dijadikan dalil bahwa Rasulullah Saw tidak membatasi jumlah rakaat Qiyamu Ramadhan atau Tarawih.
Dengan demikian klaim tidak adanya pembatasan jumlah rakaat yang dicetuskan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. berdasar semata-mata kepada Hadis ini tidak bisa diterima, karena menyalahi kaidah Ushul Fiqh yang sudah disepakati para ulama.
Terlebih lagi jika hanya berdasar kepada Hadis ini semata-mata, bagaimana mungkin kita bisa mengatakan tidak ada pembatasan jumlah rakaat kalau kata Qiyamu Ramadhan saja kita tidak tahu apa yang dimaksud. Artinya, masih tersisa pertanyaan: “Apakah yang dimaksud dengan Qiyamu Ramadhan pada Hadis di atas?” Apakah suatu bentuk shalat, apakah seperti qurban, apakah mirip i’tikaf ataukah sejenis thawaf atau sekedar do’a saja atau bagaimana?
Jika ibadahnya saja tidak jelas apa yang dimaksud, bagaimana mungkin kita bisa menyimpulkan tidak ada pembatasan jumlah raka’at?
Kalau seandainya klaim tidak adanya pembatasan rakaat yang disebutkan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. bisa diterima begitu saja, maka orang lain pun bisa mengatakan bahwa dengan Hadis ini juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembatasan jumlah takbir, juga tidak ada pembatasan jumlah Fatihah, juga tidak ada pembatasan jumlah rukuk, jumlah sujud, jumlah salam dalam Qiyamu Ramadhan.
Kalau begitu halnya, maka seseorang tidak bisa disalahkan jika melakukan Qiyamu Ramadhan dengan diawali takbir 7 kali, lalu membaca Fatihah 3 kali, rukuk 5 kali, sujud 10 kali lalu diakhiri salam 20 kali pada setiap rakaat berdasar pada Hadis di atas yang memang tidak membatasi apapun.
Ini berarti Qiyamu Ramadhan itu bebas, tanpa aturan. Apa benar begitu?
Tidak cukup hanya bertentangan dengan kaidah Ushul Fiqh, klaim Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. tersebut juga bertentangan dengan Hadis yang mewajibkan kita shalat sesuai dengan tata cara shalat Rasulullah Saw berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.S.R. Bukhari)
Yang secara umum juga mengharuskan kita melaksanakan Qiyamu Ramadhan sesuai tata cara Qiyamu Ramadhan Rasulullah Saw yang dijelaskan oleh Hadis Aisyah R.A. bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melebihi 11 rakaat dalam Qiyamullail ataupun Qiyamu Ramadhannya.
Oleh karena itu, dalil pertama yang dibawakan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. ini gugur dan tidak bisa dipakai untuk meniadakan batasan rakaat tarawih.
Adapun dalil yang kedua, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Hadis Ubay bin Ka’ab R.A. ini bertentangan dengan Hadis Aisyah R.A. yang jauh lebih shahih sehingga teranggap sebagai hadits Syadz alias “nyeleneh” yang berarti lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi ada riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab R.A. memerintahkan Ubay bin Ka’ab R.A. agar shalat 11 rakaat seperti yang sudah kami sebutkan yang meskipun Hadis ini dianggap bermasalah oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. seperti yang disebutkan pada halaman 117, namun maknanya didukung oleh Hadis Aisyah R.A.
Karena tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil, maka Hadis Ubay bin Ka’ab R.A. shalat 20 rakaat inipun gugur.
Adapun dalil yang ketiga, yaitu adanya Ijma’ shahabat, maka dengan sendirinya klaim tersebut gugur, karena Umar bin Khattab R.A. sendiri memerintahkan Ubay bin Ka’ab R.A. shalat tarawih 11 rakaat. Lalu bagaimana ada Ijma’ kalau terbukti ada perbedaan? Bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa seluruh shahabat sepakat shalat 20 rakaat kalau Khalifah Umar bin Khattab R.A. sendiri justru memerintahkan agar shalat 11 rakaat?
Kecuali jika maksud dari Ijma’ shahabat ini adalah bahwa para shahabat sepakat tentang tidak adanya batasan rakaat pada shalat tarawih seperti yang disebutkan oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. akan tetapi hal ini pun tidak bisa diterima karena Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. sendiri menyebutkan di halaman 66 bahwa Ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para shahabat untuk shalat 20 rakaat dengan merujuk pada komentar Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni.
Kalaupun kita terima bahwa para shahabat sudah Ijma’ atas shalat tarawih 20 rakaat, maka bisa disimpulkan bahwa shalat tarawih dengan jumlah rakaat melebihi 20 raka’at ataupun kurang dari 20 raka’at adalah menyalahi Ijma’ dan tidak boleh dilakukan. Apakah begitu?
Talaqqi al-ummah bi al-qabul
Pada halaman 70 di bawah sub judul “KH. Ahmad Dahlan Shalat Tarawih 20 Rakaat” Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis:
“Jadi shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjama’ah bukanlah bid’ah, melainkan merupakan sunnah Nabi Saw yang telah dilakukan dan hal itu diterima oleh umat Islam sejak masa Khalifah Umar bin al-Khattab sampai hari ini.”
Lalu beliau menyebutkan di halaman 71:
“Dan kenyataannya bahwa Shalat Terawih itu telah dilakukan dan diterima oleh umat Islam sejak masa shahabat sampai masa kini, yang dalam Ilmu Hadis disebut dengan talaqqi al-ummah bi al-qabul, merupakan suatu faktor yang memperkuat otentisitas Hadits shalat tarawih dua puluh rakaat itu.”
Tanggapan kami:
Banyak contoh permasalahan yang bila dilihat sepintas seakan-akan menunjukkan adanya talaqqi al-ummah bi al-qabul atau diterima umat Islam tanpa ada perselisihan seperti perayaan Maulid Nabi Saw, tahun baru hijriyyah, Isra’ Mi’raj, shalawat jama’ah setiap malam jum’at, yasinan, adzan 2 kali sebelum shalat Jum’at dan lainnya.
Kita ambil contoh adzan 2 kali sebelum shalat Jum’at yang jamak dilakukan orang. Jika kita lihat asal muasalnya, kita dapatkan dalam sejarah bahwa orang yang pertama kali memerintahkan hal tersebut adalah Utsman bin Affan R.A. dan tidak pernah dilakukan sebelumnya yang kemudian tersebar luas ke berbagai wilayah sehingga mengesankan adanya unsur talaqqi al-ummah bi al-qabul. Lalu apakah hal yang demikian ini kita terima begitu saja lalu kita katakan sunnah Rasul Saw?
Padahal untuk menentukan apakah ini sunnah Rasul Saw atau tidak kita harus melihat bagaimana Rasulullah Saw melakukannya atau setidaknya adakah taqrir atau persetujuan Rasulullah Saw akan suatu perbuatan atau ritual seperti ini. Jika tidak dijumpai Rasulullah Saw pernah melakukannya atau pernah mengizinkan para shahabat melakukan hal tersebut maka perbuatan atau ritual seperti ini tidak dapat diikuti meskipun seluruh umat Islam di dunia biasa melakukannya. Artinya, talaqqi al-ummah bi al-qabul semata-mata bukanlah dasar yang kuat untuk membenarkan sesuatu.
Oleh karena itu, ketika banyak dijumpai acara, ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang banyak dilakukan masyarakat yang disandarkan kepada ajaran Islam, maka untuk menguji apakah hal-hal tersebut patut dilaksanakan atau tidak cukuplah kita bertanya: “Apakah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw? Apakah Rasulullah Saw pernah menyetujui dan membenarkan?”
Jika Rasulullah Saw pernah melakukan atau menyetujui dan membenarkan maka hal tersebut sangat patut diikuti. Dan sebaliknya, jika Rasulullah Saw tidak pernah melakukan ataupun tidak pernah menyetujui dan membenarkan, maka hal tersebut tidak berhak untuk diikuti meskipun itu pernah dilakukan oleh ulama’ besar, syeikh, atau bahkan shahabat sekalipun karena pada prinsipnya, seluruh ummat Islam hanya mengikuti satu qudwah saja yaitu Rasulullah Saw.
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)
“Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (agama Islam) apa yang tidak termasuk di dalamnya maka ia itu tertolak.” (H.S.R Bukhari).
Mufti Masjidil Haram berkunjung ke Bangil
Pada tanggal 25 Juni 2007, di masjid Manarul Islam Bangil digelar kajian Islam yang dipandu oleh Mufti Masjidil Haram Syeikh Dr. Abdurrahman Jail Al-Qassas yang juga dihadiri rombongan ulama’ Makkah di antaranya Syeikh Yusuf Said Al-Ghomidi, MA -salah satu murid Syeikh bin Baz dan Syeikh Ibn Jibrin-, Syeikh Dr. Talal Muhammad Abu Al-Nur -Dosen Fakultas Dakwah Universitas Ummul Quro Makkah-, Syeikh Badr Ibrahim Al-Rajihi -Hakim Pengadilan Tinggi Makkah- dan beberapa ulama Makkah yang lain.
Pada saat sesi tanya jawab, seorang anggota jama’ah masjid Manarul Islam menanyakan tentang pelaksanaan shalat tarawih 20 rakaat di Masjidil Haram, lalu Mufti Masjidil Haram sebagai pembicara tunggal bertanya kembali dengan diterjemahkan oleh seorang penterjemah: “Bagaimana pelaksanaan shalat tarawih di masjid ini -masjid Manarul Islam, pen-?” lalu dijawab oleh si penanya bahwa shalat tarawih dilaksanakan rutin setiap malam dengan jumlah rakaat sebanyak 11 rakaat. Ketika jawaban tadi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, spontan Mufti Masjidil Haram menjawab “Antum ahsanu minna” atau “Anda sekalian lebih baik dari kami.”
Penggalan fakta di atas kami bawakan tidak untuk mendukung benarnya tarawih 11 rakaat, namun untuk mengembalikan fokus bahwa sebuah kesimpulan syar’i tidak didasarkan kepada Qoul Professor ini atau Professor itu, bukan mufti ini atau mufti itu dan bukan pula berdasar kepada perbuatan syeikh ini dan itu, namun didasarkan kepada dalil dan metode istimbath ushul fiqh yang sudah teruji. Wallahu A’lam Bish Shawab.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah lalu bisa disimpulkan beberapa hal:
  1. Rasulullah Saw tidak pernah shalat Qiyamu Ramadhan ataupun Qiyamul Lail lebih dari 11 rakaat berdasarkan Hadis Shahih riwayat Aisyah R.A.
  2. Hadits “Man Qaama Ramadhan…” tidak bisa dijadikan dasar untuk menghilangkan batasan rakaat tarawih.
  3. Hadits Mauquf yang menerangkan bahwa Ubay bin Ka’ab shalat tarawih 20 rakaat atas perintah Umar bin Khattab R.A. adalah Syadz karena bertentangan dengan Riwayat Aisyah R.A.
  4. Hadits Mauquf yang menerangkan bahwa Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab shalat tarawih 11 rakaat adalah Mahfuzh karena sesuai dengan Riwayat Aisyah R.A.
  5. Tidak ada Ijma’ atas shalat tarawih 20 rakaat.

Kontroversi Metodologi Rukyat dan Hisab

Kontroversi Metodologi Rukyat dan Hisab

Cetak E-mail
Ditulis oleh Muhammad Nurul Ahsan   

Fenomena menarik di Indonesia, menjelang bulan puasa maupun lebaran, yang hampir terjadi setiap tahunnya adalah kontroversi penentuan awal bulan Ramdlan dan Syawal. Kontroversi ini terjadi di beberapa organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia. Untuk mengetahui masuknya awal bulan, ada beberapa organisasi di antara sekian banyak organisasi keagamaan bersikeras mengaplikasikan secara independen metodologi hisab maupun rukyat. Namun ada juga yang lebih memilih untuk melakukan kalaborasi antara keduanya.

Ternyata, dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi masing-masing dari mereka sama-sama merasa telah mengantongi legalitas agama dan merasa sebagai kelompok yang mampu mengimplementasikan firman Allah dan sabda rasul-Nya. Sebuah realita yang patut disayangkan; bagaimana mungkin dalam sebuah negara mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi masuknya awal bulan Ramadlan maupun Syawal, sebagai tanda umat Islam mempunyai kewajiban berpuasa dan berhari raya.
Memang, sejauh ini, realita sosial masing-masing organisasi keagamaan masih mampu menunjukkan sikap toleransi, meskipun dalam tataran praktis di kalangan tertentu masih tetap terkontaminasi, sehingga perbedaan itu berpotensi menciptakan terjadinya sentimen keagamaan di luar paham kelompoknya. Inilah sebuah problem yang tentunya membutuhkan gagasan solutif agar semua pihak tidak terjebak pada pola berfikir particular dan parsial sehingga mampu menciptakan pola berfikir multidimensional dan komprehensif.

II. Legalisasi Metodologi Rukyah dan Hisab

Membicarakan metodologi rukyah --dalam konteks Indonesia-- tentunya tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap menjelang bulan puasa dan hari raya, organisasi ini secara konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadits yang secara eksplisit menggunakan redaksi “rukyah” dalam menentukan awal bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu pada pendapat mayoritas ulama—hadits mengenai rukyah tersebut mempunyai kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadits sekaligus praktek yang dilakukan pada pereode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan metode hisab?

Pada kesempatan lain, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salahsatunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan.

Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informative, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.

Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).

Memang, banyak hadits secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika hendak memasuki bulan Ramadlan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi periode nabi berbeda dengan periode sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa: ”innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”. Jadi, mempriotiaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada pereode nabi.

III. Analisa, Solusi dan Penutup

Menurut hemat Penulis, metodologi hisab dan rukyah merupakan dua komponen yang mempunyai korelasi sangat erat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Rasanya tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya murni menggunakan metode rukyah. Sebab, meskipun telah dilengkapi dengan teknologi teleskop, ada banyak problematika yang harus dihadapi, semisal adanya polusi, pemanasan global dan kemampuan mata yang terbatas, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Begitu juga sebaliknya, tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya menggunakan metode hisab. Alasan paling mendasar adalah fakta empiris metodologi ini bermula dari sebuah riset para astronom, sedangkan obyeknya adalah "melihat" peredaran matahari dan bulan. Memang, dipandang dari akurasi metodologisnya, hisab lebih unggul dibanding rukyah. Tingkat kesalahan metodologi hisab jauh lebih kecil dibanding metodologi rukyah. Namun, bagaimanapun juga hasil ilmiah apapun tidak akan pernah dapat dipertanggungjawabkan jika pada akhirnya tidak sesuai dengan fakta.

Telah jelas kontroversi metodologi hisab maupun rukyah --secara aplikatif-- merupakan persoalan furu’iyyat (hukum cabang). Tentunya perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, fenomena kontroversial itu tidak dapat dibiarkan bagitu saja, mengingat dampak arus bawah yang timbul begitu signifikan. Pada dasarnya itsbat (keputusan) penetapan bulan Ramadlan maupun Syawal adalah hak preogratif pemerintah (Departemen Agama) secara otoritatif. Apalagi telah jelas, pemerintah selama ini mampu mengakomodir semua aspirasi organisasi keagamaan di Indonesia, dengan mengundang masing-masing delegasi untuk melakukan rukyat sekaligus hisab. Jadi, sama sekali tidak salah, jika mulai dari sekarang masing-masing organisasi mencoba untuk menghormati otoritas pemerintahan ini. Wallahu a’lam.

Muhammad Nurul Ahsan (Al-Azhar University)

Fatwa MUI Tentang Perayaan Natal Bersama

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
 
Memperhatikan :
  1. Perayaan natal bersama pada akhir–akhir ini disalah artikan oleh sebagian umat Islam dan disangka sama dengan umat Islam merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam.
  2. Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal.
  3. Perayaan Natal bagi orang – orang Kristen adalah merupakan ibadah.
Menimbang :
  1. Umat Islam perlu mendapatkan petunjuk yang jelas tentang perayaan Natal Bersama.
  2. Umat Islam agar tidak mencampuradukkan Aqidah dan ibadahnya dengan Aqidah dan ibadah agama lain.
  3. Umat Islam harus berusaha untuk menambah iman dan taqwanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  4. Tanpa mengurangi usaha umat Islam dalam kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Meneliti kembali : Ajaran –ajaran agama Islam, antara lain :
A. Bahwa umat Islam diperbolehklan untuk bekerjasama dan bergaul dengan umat agama –agama lain dalam masalah – masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan atas:
1. Al-Qur`an surat Al Hujarat ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
” Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki – laki dan seorang perempuan dan Kami manjadikan kamu sekalian berbangsa – bangsa dan besuku – suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa (kepada Allah). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
2. Al-Qur`an surat Lukman ayat 15 ;
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
” Dan kedua orang tuamu mamaksakan unutuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang ini, maka janganlah kamu mengikutinya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu. Kemudian kepadaKulah kembalimu, maka akan kuberitakan kepadamu yang telah kamu kerjakan.”
3. Al-Qur`an surat Mumtahanah ayat 8 :
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tidak malarang kamu ( umat Islam ) untuk berbuat baik dan berlaku terhadap orang – orang (beragama Lain) yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang – orang yang berlaku adil.”
B. Bahwa umat Islam tidak boleh mancampuradukkan agamanya dengan Aqidah dan peribadatan agama lain, berdasarkan :
1. Al-Qur`an surat al Kafirun ayat 1-6 :
 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ  • لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  •  وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ • وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ   •  وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ •  لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
” Katakanlah hai orang – orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembahan Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”
2. Al-Qur`an surat Al Baqarah ayat 42:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“ Dan janganlah kamu campuradukkan yang berhak dengan yng bathil, dan jangan kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahuinya.”
C. Bahwa umat Islam harus mangakui kenabian dan kerasulan Isa Al Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada Nabi dan Rasul yang lain, berdasarkan ayat ;
1. Al-Qur`an surat Maryam ayat 30-32 ;
•  قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا •  وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ ‎وَأَوْصَانِي بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا •  وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
“ Berkata Isa : sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al Kitab ( Injil ) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkahi dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku masih hidup ( dan Dia memerintahkan aku ) berbakti kepada ibuku (Maryam) dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”
2. Al- Qur`an surat Al maidah ayat 75 :
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Al Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul dan ibunya seorang yang sangat benar. Kedua – duanya biasa memakan makanan ( sebagai manusia ). Perhatikanla sebagaimana Kami menjelaskan kepada mereka ( Ahli Kitab ) tanda – tanda kekuasaan Kami) , kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling ( dari memperhatikan ayat – ayat Kami itu ),”
3. Al-Qur`an surat Al Baqarah ayat 285 :
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“ Rasul ( Muhammad ) telah beriman kepada Al-Qur`an yang telah diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang –orang yang beriman kepada Allah, malaikat – malaikatNya, Kitab –kitabNya, dan Rasul – rasulNya ( mereka mengatakan ): kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun ( denagn yang lain ) dari Rasul – rasulNya dan mereka mengatakan : kami mendengar dan kami taat. (mereka berdo`a) ampunilah ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali. “
D. Bahwa barang siapa berkenyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Al Masih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan atas :
1. Al Qur`an surat Al maidah ayat 72 :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“ Sesunguhnya telah kafir orang –orang yang berkata sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam. Padahal Al Masih sendiri berkata : Hai bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu, Sesungguhnya orang yang mempersekutukan ( sesuatu dengan ) Allah, maka pasti Allah mangharamkan kepadnya sorga dan tempatnya ialah neraka, tidak adalah bagi orang zalim itu seorang penolongpun.”
2. Al-Qur`an surat Al Maidah ayat 73 :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“ Sesungguhnya kafirlah orang –orang yang mengatakan : Bahwa Allah itu adalah salah satu dari yang tiga ( Tuhan itu ada tiga ), padahal tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Mah Esa. Jika mereka tidak berhanti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang – orang kafir itu akan disentuh siksaan yang pedih.”
3. Al-Qur`an surat At Taubah ayat 30 :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“ Orang – orang Yahudi berkata Uzair itu anak Allah dan orang – orang Nasrani berkata Al Masih itu anak Allah. Demikian itulah ucapan dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan/perkataan rang – orang kafir yang terdahulu, dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling.”
E. Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menayakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan ibunya ( Maryam ) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
Hal itu berdasarkan atas Al-Qur`an surat Al Maidah ayat 116-118 :
•  وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِمَا قُلْتُ لَهُمْ إِلا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ  • إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ •
“ Dan ( ingatlah ) ketika Allah berfirman : Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia (kaumku): jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah? Isa menjawab : Maha Suci Engkau ( Allah ), tidaklah patutu bagiku mengatakan apa yang bukan hakku ( mengatakannya ). Jika aku pernah mengatakannya tentu Engkau teal mengetahuinnya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku ( mengatakannya ), yaitu: sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada diantara mereka. Engkaulah pengawas dan saksi atas segala sesuatu. Jiuka Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba – hambaMu dan jika Engkau mengampunkan mereka, maka sesunguhnya Engkau Maha Kuasa Lagi Maha Bijaksana.”
F. Islam mengajarkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu hanya satu berdasarkan atas Al Qur`an surat Al Ikhlas :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ •  اللَّهُ الصَّمَدُ  •  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  •   وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  •
“ Katakanlah : Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepadaNya. Dia tidak beranak dan tidak pula di peranakkan. Dan tidak ada seorangpun/sesuatu yang setara dengan Dia.”
G. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal – hal yang syubhat dan dari larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas :
1. Hadist Nabi  Shallallahu’alaihi wa Sallam dari Nu`man bin Basyir :
إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ ، وبَينَهُما أُمُورٌ مُشتَبهاتٌ ، لا يَعْلَمُهنّ كثيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقى الشُّبهاتِ استبرأ لِدينِهِ وعِرضِه ، ومَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ ، كالرَّاعي يَرعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرتَعَ فيهِ ، ألا وإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، ألا وإنَّ حِمَى اللهِ محارِمُهُ ، ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغَةً إذا صلَحَتْ صلَحَ الجَسَدُ كلُّه ، وإذَا فَسَدَت فسَدَ الجَسَدُ كلُّه ، ألا وهِيَ القَلبُ
” Sesungguhnya apa –apa yang halal itu telah jelas dan apa – apa yang haram pun telah jelas, akan tetapi di antara keduanya itu banyak yang syubhat ( sebagian halal sebagian haram ). Barangsiapa yang memelihara diri dari yang syubhat itu, maka berseruhlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barangsiapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, misalnya semacam orang yang mengembalakan binatang di sekitar daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan Allah ialah apa –apa yang diharamkanNya ( oleh karena itu yang haram jangan didekat).”
2. Kaidah Usul Fikih
”Menolak kerusakan–kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan–kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin nafasid-nya yang diperoleh, sedangkan mashalih-nya tidak dihasilkan).”
Majelis Ulama Indonesia menfatwakan :
1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa ‘Alaihis Sallam, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal – soal yang ditegaskan di atas.
2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya HARAM.
3. Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan – kegiatan perayaan NATAL.
Jakarta, 1 Jumadil Awwal 1401 H / 7 Maret 1981 M
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA
INDONESIA
Ketua / Sekretaris
(K.H. SYUKRI GHOZALI)
(DRS. H. MAS’UDI)
Disalin secara utuh dari buku “Perayaan Natal 25 Desember Antara Dogma dan Toleransi” (hal. 41-54) Penulis: Hj. Irena Handono. Penerbit: Bima Rhodeta (cet.ke-VI Feb 2004)
Abu Sahal – 23 Desember 2011
Tulisan Terkait:

Halal bi Halal



Halal bi Halal dan Sejarahnya


Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, MA
 
PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA
Secara bahasa, halal-bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan du sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia” [1]
Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama [3]
Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia [4]. Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bihalal menurut pandangan syariat.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.

HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL (TAUFIQI)
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram (dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan.

وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْ عَةَ فِيْهَا، وَ مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ التَّعَبَّدِ تَدْ خُلُهَا الْبِدَ عَةُ

Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya [5]
Sifat tauqifi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :
1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.

عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال : قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ فيهِمَا، فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟، قالُوا : كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua hari ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani][6]
Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i.
2. Taufiqi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan-minum, berpakaian, bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariat. [8]
PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL
Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk perkara ini kepadaadat dan tradisi masing-masing.
Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak ada dasarnya dalam Islam.[9]
Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.
Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata.

فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ

Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan. [10]
KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI RAYA
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal secara khusus. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bi halal dan sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya.
Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut.

عنِ الْبَرَاءِِ رضي اللَّه عنه قالَ : رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَامِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَا فَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّ قَاَ

Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah” [HR Abu Dawud no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi shahih oleh al-Albani] [11]
Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya berubah ; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru dalam agama.
Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. [12]
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab : Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu a’lam. [13]
Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur di hari raya termasuk bid’ah, [14] padahal ziarah kubur juga merupakan amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits berikut

عن بُرَيْدَةَ رضي اللَّه عنه قال: رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُم ْعَن زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؟ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة

Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR Ashabus Sunnan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth]
Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam.
BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ;
1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fithri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal ‘urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran’. Dan jadilah “mohon maaf lahir dan batin” ucapa yang “wajib”. pada hari raya Idul Fithri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fithri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut

عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي اللَّه عنه أَنَّ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم قال : مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؟ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلا درهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤخَذَ لأَِخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِ حَتْ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya ; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya. [HR al-Bukhari no. 6169]
2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut.

عن أَبِى أُسَيْدٍ اْلأَنْصَارِىِّ رضي اللَّه عنه أَنَّهُ سَمِعَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَخَارِخٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَا خْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم لِانِّسَاءِ اسْتَأخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ، فَكَانَتِ الْمَرْاَةُ تَلتَصِقُ بِالجِدَارِ حَتَى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَابِهِ

Dari Abu Usaid al-ِAnshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, lantaran begitu mepetnya baju mereka dengan dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani] [15]
3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam cara halal bihalal atau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadist berikut.

عن مَعْقِل بن يَسَارِ رضي اللَّه عنه يَقُولُ : قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : لأَنْ يُطْعَنَ فِي رأْسِ أَحَدِ كُْم بِمِخْيَطِ مِنْ حَد ِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَ أَةً تَحِلُّ لَهُ

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani] [16]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang terkandung dalam hadits ini menunjukkan haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram, ed) karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama” [17]
PENUTUP
Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan dalam halal bi halal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan acara ini sudah menjadi penambahan syariat baru yang jelas tidak memilki landasan dalil syar’i. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang disyariatan Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya, jika terlepas dari pelanggaran-pelanggaran syariat, antara lain yang sudah kita sebutkan diatas. Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebut mu’ayadah (saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam lain tanpa pengingkaran dari Ulama.
Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!”, ingatlah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut setiap perkara baru dalam agama sebagai syarrul umur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita bisa meremehkannya? Setiap Muslim haris berhati-hati dengan perkara-perkara baru yang muncul belakangan. Mari, amalkan sunnah dan Islam yang murni, karena itulah wasiat Nabi tercinta Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Wallahu a’lam
REFERENSI
1. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, Dr. Sulaiman as-Suhaimi, Universitas Islam Madinah.
2. Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, Darul Ashimah.
3. Mi’yarul Bid’ah, Dr. Muhammad Husain al-Jizani, Dar Ibnil Jauzi.
4. Risalatun fil Ikhtilath, Syaikh Muhammad bin Ibrahim
5. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
Sumber: Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009 M (almanhaj.or.id)
_______
Footnote
[1]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
[2]. Ibid
[3]. Ibid
[4]. Ibid
[5]. Al-I’tisham 2/98
[6]. Shahih Sunan Abi Dawud 4/297
[7]. Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499
[8]. Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262
[9]. Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6
[10]. Ibid. 2/101
[11]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525
[12]. Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141
[13]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339
[14]. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247
[15]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856
[16]. Lihat Ghayatul Maram 1/137
[17]. Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah)